BUDIDAYA BAWANG MERAH
DAN PENANGANAN PERMASALAHANNYA
Oleh : Baswarsiati
BPTP Jawa Timur
.
PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan Jawa Timur yang sangat fluktuatif harga maupun produksinya. Hal
ini terjadi karena pasokan produksi yang tidak seimbang antara panenan
pada musimnya serta panenan di luar musim, salah satu diantaranya
disebabkan tingginya intensitas serangan hama dan penyakit terutama bila
penanaman dilakukan di luar musim. Selain itu bawang
merah merupakan komoditas yang tidak dapat disimpan lama, hanya bertahan
3-4 bulan padahal konsumen membutuhkannya setiap saat.
Masalah
utama usahatani bawang merah di luar musim adalah tingginya resiko
kegagalan panen karena lingkungan yang kurang menguntungkan , terutama
serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit penting pada bawang merah antara lain : ulat bawang (Spodoptera exigua) dan Thrips , sedangkan penyakitnya meliputi antraknose, fusarium dan trotol.
Keberadaan
hama dan penyakit tersebut menyebabkan petani menggunakan pestisida
secara berlebihan karena petani beranggapan bahwa keberhasilan usahatani
ditentukan oleh keberhasilan pengendalian hama dan penyakit, yaitu
dengan meningkatkan takaran, frekuensi dan komposisi jenis campuran
pestisida yang digunakan. Akibatnya biaya usatani bawang merah semakin tinggi dan keuntungan yang diperoleh tidak seimbang serta tidak
memperhatikan konsep pertanian ramah lingkungan. Dampak lain penggunaan
pestisida yang berlebihan yaitu ledakan dari hama sekunder.
Untuk
mengantisipasi masalah di atas salah satu usaha yaitu mencari dan
menggali varietas-varietas bawang merah yang mempunyai sifat-sifat
unggul terutama dalam hal produksi serta ketahanan terhadap hama dan
penyakit utama sehingga varietas bawang merah tersebut mampu berproduksi
walaupun serangan hama dan penyakit cukup berat. Bilamana varietas
unggul yang tahan terhadap hama dan penyakit diperoleh maka varietas
tersebut dapat ditanam pada luar musim sehingga kesinambungan produksi
bawang merah dapat terjamin.
Dari
141 varietas bawang merah yang ada termasuk varietas introduksi belum
didapatkan varietas yang tahan terhadap penyakit di atas kecuali
varietas Sumenep yang relatif tahan terhadap penyakit “Otomatis” tetapi
tidak tahan terhadap penyakit “Alternaria”. Sayangnya varietas ini tidak mampu berbunga dan belum diketahui cara merangsang bunganya, serta berumur panjang walaupun mempunyai kualitas terbaik untuk bawang goreng (Permadi, 1992). Beberapa
galur somaklonal dari varietas Sumenep sudah dihasilkan oleh Balitsa
Lembang dan sudah dilakukan uji daya hasilnya di beberapa lokasi. Hasil
somaklonal dari varietas Sumenep mempunyai umbi yang lebih besar dengan
warna yang lebih mengarah kemerah muda dibandingkan varietas Sumenep
yang asli. Diharapkan galur somaklonal Sumenep tetap
mempunyai sifat tahan terhadap hama dan penyakit utama serta mempunyai
umbi besar , warna menarik dan rasa bawang goreng yang lebih enak.
PERMASALAHAN
1. Adanya perbedaan produksi pada musim kemarau dan musim hujan
Fluktuasi produksi selalu terjadi pada usahatani bawang merah yang disebabkan adanya perbedaan produksi di musim kemarau dan musim hujan. Pada musim hujan intensitas serangan hama terutama Spodoptera exigua dan penyakit seperti Fusarium, Alternaria dan Antraknose semakin tinggi. Sehingga
kegagalan panen sering terjadi pada musim hujan. Hal ini disebabkan
pada musim hujan, kelembaban udara lebih tinggi dibandingkan musim
kemarau sehingga intensitas serangan penyakit lebih tinggi. Sedangkan
pada musim kemarau suhu udara lebih tinggi dibandingkan musim hujan
sehingga intensitas serangan hama lebih tinggi dibandingkan intensitas
serangan penyakit (Rosmahani et al, 1998) Oleh karenanya produktivitas di musim hujan semakin menurun dan pasokan produksi juga menurun sehingga terjadi fluktuasi harga. Sehingga diperlukan adanya varietas bawang merah yang sesuai untuk musim kemarau dan musim hujan
2 Belum cukup tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan penyakit penting serta sesuai pada musim hujan
Sampai saat ini belum tersedia varietas unggul bawang merah yang resisten terhadap hama dan penyakit penting kecuali varietas Sumenep. Sayangnya
varietas Sumenep belum disukai konsumen bawang merah karena penampilan
umbinya kurang menarik dengan warna umbi kekuningan dan bentuk umbinya
lonjong dan kecil. Namun somaklonal dari varietas Sumenep dapat menghasilkan umbi dengan ukuran yang lebih besar dari varietas aslinya dan warna umbi merah muda. Selain itu varietas Sumenep sangat renyah dan enak untuk bawang goreng. Dan
nampaknya hasil somaklonal varietas Sumenep mempunyai daya adaptasi
yang luas pada beberapa agroekologi di dataran rendah hingga dataran
tinggi (Baswasiati et al, 2000)
Varietas
bawang merah yang selama ini ditanam oleh petani umumnya varietas yang
sesuai ditanam di musim kemarau saja namun rentan terhadap serangan hama
ulat grayak serta penyakit penting pada bawang merah. Seperti halnya 8
varietas unggul yang telah dilepas Pemerintah antara lain varietas Bima
Brebes, Maja, Keling, Medan , Super Philip, Kramat-1, Kramat-2 dan
Kuning hanya sesuai untuk musim kemarau. Sedangkan varietas unggul bawang merah yang sesuai pada musim hujan dan telah dilepas Pemerintah hanya varietas Bauji . Usahatani
bawang merah pada musim kemarau menghasilkan pasokan produksi yang
tinggi karena cukup banyak ragam varietas yang dapat ditanam di musim
kemarau. Seperti halnya di sentra produksi Brebes, petani menanam beragam varietas bawang merah yang ada , termasuk varietas Sumenep. Sedangkan
di Jawa Timur, petani hanya menanam varietas Super Philip karena
produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya.
Pada musim hujan, petani tetap menggunakan varietas yang sesuai untuk musim kemarau seperti Super Philip, Bima, Kuning, Maja karena keterbatasan varietas yang sesuai untuk musim hujan . Varietas
Bauji untuk sementara ini ditanam oleh petani di wilayah Nganjuk dan
Kediri pada musim hujan, walaupun sebenarnya sudah dikenal petani
Probolinggo dengan nama bawang Biru dan ditanam oleh petani Probolinggo
pada musim kemarau dan musim hujan.
3. Ketergantungan petani bawang merah terhadap benih impor
Dalam
usahatani bawang merah, benih merupakan salah satu faktor produksi yang
memerlukan biaya tinggi, dengan kebutuhan benih sekitar 800-1.200
kg/ha. Tingginya kebutuhan benih bawang merah baik dalam
bentuk benih komersial maupun benih sumber , ternyata belum diikuti
produksi benihnya. Selain itu petani bawang merah di Indonesia nampaknya
sangat tergantung terhadap benih impor seperti varietas Super Philip
dan varietas dari Thailand, India dan Vietnam (berkembang
di daerah Brebes). Padahal benih impor varietas bawang merah yang
tersebar di Indonesia merupakan bawang merah untuk konsumsi yang
disimpan 2-3 bulan. Hal ini karena belum banyak produsen yang mau bergerak di bidang perbenihan bawang merah. (Indrawati dan Padmono, 2001) . Kendala
tersebut disebabkan antara lain : a) usaha perbenihan bawang merah
membutuhkan modal yang cukup tinggi dan areal serta gudang yang luas, b)
pengetahuan dan ketrampilan SDM terutama dalam produksi benih masih
rendah , c) daya simpan benih bawang merah rendah (2-5 bulan ) dengan
susut bobot yang tinggi , d) permasalahan penyimpanan benih dapat
diatasi dengan pembentukan benih berupa biji, sayangnya ketrampilan ini
cukup sulit disosialisasikan pada petani
4. Kendala dalam hal sosialisasi dan substitusi varietas unggul bawang merah
Nampaknya selera produsen dan konsumen bawang merah di beberapa wilayah sentra produksi di Indonesia cukup beragam dalam memilih dan mengembangkan suatu varietas. Konsumen
dan produsen bawang merah di Jawa Timur sangat menyukai varietas Super
Philip karena produktivitasnya tinggi, umbi besar dan bulat, warna umbi
menarik – merah keunguan mengkilat walaupun rasanya tidak terlalu pedas. Oleh
karenanya varietas Super Philip menyebar merata pada semua areal
pertanaman bawang merah di Jawa Timur dengan luasan 25.000 hektar dan
selalu dijumpai di pasar wilayah Jawa Timur.
Sedangkan
di wilayah Kabupaten Brebes sebagai sentra produksi bawang merah
terbesar di Indonesia (dengan luas areal tanam 16.993 hektar) dan di
Jawa Tengah pada umumnya (dengan luas areal tanam 55.578 hektar)
terdapat varietas bawang merah yang beragam (Diperta Propinsi Jateng,
2001). Varietas-varietas yang dikembangkan di Jawa Tengah
terdiri dari varietas lokal dan varietas introduksi , antara lain : Bima
Brebes, Kuning, Sumenep, Ampenan, Maja Cipanas, Medan, Tawangmangu
Baru, Super Philip, India, Thailan dan Vietnam (Indrawati dan Padmono,
2001). Hal ini menunjukkan perbedaan selera konsumen dan produsen di beberapa wilayah yang mempengaruhi terhadap perkembangan suatu varietas unggul/varietas baru.
Seperti halnya varietas Bauji yang telah dilepas menjadi varietas unggul untuk musim hujan nampaknya baru berkembang di daerah asalnya yaitu di kabupaten Nganjuk dan sekitarnya. Usaha untuk sosialisasi varietas Bauji sudah dilakukan pada setiap kesempatan , baik secara formal dan non formal seperti Temu Lapang, Pelatihan dan pertemuan dan wawancara langsung dengan petani bawang merah . Namun sampai saat ini varietas Bauji baru berkembang dengan luas areal tanam sekitar 5.000 hektar. Hal ini karena produktivitas varietas Bauji lebih rendah dibandingkan varietas Super Philip bila ditanam di musim kemarau . Sedangkan pada musim hujan, varietas Bauji lebih unggul dibandingkan varietas Super Philip. Selain
itu oleh para tengkulak , hasil panen varietas Bauji dihargai lebih
rendah dibandingkan varietas Super Philip sehingga petani memilih
menanam varietas Super Philip walaupun musim hujan. Dan
keterbatasan produsen benih varietas Bauji dengan usaha dalam skala
kecil yang hanya berada di Nganjuk dan beberapa di Kediri mempengaruhi
ketersediaan benih varietas tersebut.
PEMILIHAN VARIETAS
Banyak varietas bawang merah yang dibudidayakan di Indonesia. Sampai
saat ini perbanyakan dari varietas-varietas tersebut dilakukan secara
vegetatif dengan umbi, padahal varietas tersebut mampu berbunga dan
berbiji secara alami kecuali varietas Sumenep. Karena
selalu dibiak secara vegetatif maka praktis tidak ada perubahan susunan
genetiknya dan karena itu sampai sekarang tidak didapatkan varietas yang
tahan terhadap penyakit daun yang sering menggagalkan pertanaman bawang
merah (Permadi, 1992).
Terdapat
dua varietas unggul bawang merah yang baru dilepas oleh Menteri
Pertanian pada bulan Maret 2000 dan usulan pelepasannya dilakukan oleh
BPTP Jawa Timur. Kedua varietas tersebut adalah Super
Philip (atau lebih dikenal oleh petani sebagai varietas Philipine) dan
varietas Bauji yang berasal dari Kediri/ Nganjuk . Serta satu varietas yaitu Batu Ijo yang masih dalam proses pelepasannya.
Varietas Bauji merupakan varietas lokal yang belum banyak dikenal oleh petani bawang merah. Namun di sentra produksi bawang merah Nganjuk dan Kediri sudah umum di tanam di musim hujan. Keragaan tanaman varietas Bauji agak berbeda dengan varietas Super Philip terutama pada penampilan daun dan umbinya. Daun
bawang merah varietas Bauji lebih ramping (kecil) dengan warna lebih
hijau dan sudut antara daun lebih kecil dibanding Super Philip. Varietas
Bauji bila ditanam di musim hujan nampak lebih kekar dibanding varietas
Super Philip dan beberapa varietas lain seperti Bima, Ampenan, Kuning
dan sebagainya. Namun bila Bauji ditanam di musim kemarau kurang vigour pertumbuhannya dibandingkan varietas Super Philip. Varietas
Bauji akan tumbuh dan berproduksi lebih baik di musim hujan karena
varietas ini lebih menyukai pada kelembaban udara yang tinggi dan tahan
terhadap curah hujan yang tinggi mulai awal pertumbuhan sampai tanaman
dipanen. Sedangkan varietas bawang merah lainnya kecuali
varietas Sumenep sudah tidak mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik
karena daunnya sudah hancur terkena air hujan (Baswarsiati dkk, 1995 dan
1996; Rosmahani dkk, 1997; Korlina dkk, 1998).
Dari
hasil pengujian tersebut tampak bahwa produktivitas varietas Bauji
lebih tinggi dibanding varietas pembanding lainnya kecuali dengan Bali
Ijo bila ditanam di musim hujan. Hasil umbi kering bisa
mencapai 13,65 ton per hektar dengan jumlah anakan per rumpun lebih dari
10 serta tinggi tanaman di atas 35 cm. Ciri penting dari
varietas Bauji yaitu daunnya nampak lebih langsing (sempit) dengan warna
daun hijau tua, daun tebal, sudut daun kecil (lebih tegak), warna umbi
merah keunguan mengkilat, bentuk umbi bulat lonjong dan daun nampak
kekar bila ditanam di musim hujan.
Varietas bawang merah Bauji yang merupakan varietas lokal asal Nganjuk telah dilepas dengan Keputusan Menteri Pertanian No
65/Kpts/TP.240/2/2000 sebagai varietas unggul untuk musim hujan karena
memiliki daya hasil tinggi dan stabil, toleran terhadap kelembaban udara
tinggi dan curah hujan tinggi.
Sedangkan
bawangmerah varietas Philipine yang merupakan introduksi dari
Philipine, sudah lebih dari 15 tahun dikenal dan ditanam petani dan
telah menyebar ke berbagai sentra produksi bawangmerah . Saat
ini di Jawa Timur, hampir seluruh petani bawangmerah menanam varietas
Philipine dan tidak lagi menanam varietas bawangmerah lokal seperti
Ampenan, Bima yang dulu sebelum munculnya varietas Philipine mendominasi
varietas bawangmerah yang ditanam petani. Luas tanam bawang merah
varietas Philipine hampir di seluruh areal pertanaman bawang merah di
Jawa Timur yaitu sekitar 24.610 hektar (Diperta Prop. Jatim, 1998)
Keistimewaan
varietas Super Philip adalah bentuk umbi bulat dengan warna merah
keunguan mengkilat, umbi besar dengan rata-rata 8-10 g/umbi dan hal ini
sangat disukai konsumen. Selain itu varietas Philipine mampu bertahan dipenyimpanan lebih dari 4 bulan. Tinggi tanaman bisa lebih 40 cm dan bila ditanam di dataran tinggi dengan kondisi tanah subur bisa mencapai tinggi lebih 50 cm. Jumlah
anakan berkisar 10-12, umur panen 55-60 hari bila ditanam di dataran
rendah dan 70 hari bila ditanam di dataran medium sampai tinggi.
Sedangkan produktivitas varietas Philipine yaitu 17 – 18 t/ha umbi
kering Oleh karenanya varietas Philipine telah dilepas oleh Menteri Pertanian menjadi varietas unggul dengan nama Super Philip berdasarkan Keputusan No 66/Kpts/TP.240/2/2000.
Varietas
Batu Ijo merupakan varietas lokal asal Batu yang telah ditanam petani
kawasan Batu puluhan tahun dengan nama asal Bali Ijo. Varietas ini telah
diusulkan pelepasannya karena mempunyai beberapa kelebihan antara lain
umbi sangat besar (> 20 gram/umbi) mirip dengan bawang Bombay. Jumlah
anakan sedikit 2-5 anakan per rumpun. Daun tanaman lebih lebar seperti
bawang daun. Batu Ijo sesuai ditanam di musim kemarau , di dataran rendah hingga dataran tinggi (10-1300 m dpl).
KESESUAIAN AGROEKOLOGI
Persyaratan
kesesuaian agroekologi untuk usahatani bawang merah terutama ditentukan
oleh kelembaban, tekstur, struktur dan kesuburan tanah. Secara
umum tanaman bawang merah memerlukan bulan kering 4-5 bulan , curah
hujan 1000-1500 mm/th, drainase dan kesuburan baik, tekstur lempung
berpasir dan struktur remah (Widjajanto et al, 1998). Sedangkan
setiap varietas bawang merah mempunyai daya adaptasi yang lebih khusus
pada agroekologi tertentu , seperti halnya varietas Super Philip dan
Bauji.
Bawangmerah
varietas Super Philip dapat diusahakan mulai di dataran rendah hingga
di dataran tinggi, yaitu 20 m – 1000 m dpl. Sangat sesuai ditanam di
musim kemarau dengan sinar matahari dibutuhkan sebanyak-banyaknya dan
lahan tidak ternaungi. Tanah yang diinginkan yaitu berdrainase baik dan
kesuburan tinggi, tekstur lempung berpasir dan struktur remah dengan pH
6-6,5. Dapat dibudidayakan di lahan sawah, lahan kering
atau lahan tegalan, dengan jenis tanah bervariasi dari Aluvial, Latosol
dan Andosol (Baswarsiati et al, 1998).
Bawangmerah
varietas Bauji dapat diusahakan di dataran rendah yaitu 20 m –400 m dpl
,sangat sesuai ditanam di musim hujan.. Tanah yang diinginkan
berdrainase baik dan kesuburan tinggi, tekstur lempung berpasir dan
struktur remah dengan pH 6-6,5. Dapat dibudidayakan di lahan sawah, dengan jenis tanah bervariasi dari Aluvial, Latosol dan Andosol (Baswarsiati et al , 1998).
· PEMILIHAN BIBIT
Bibit merupakan salah satu kunci utama dalam keberhasilan suatu usahatani . Adapun persyaratan bibit bawang merah yang baik antara lain :
· Umur
simpan bibit telah memenuhi , yaitu sekitar 3-4 bulan, walaupun untuk
umur simpan yang lebih muda bibit tetap tumbuh namun pada pertumbuhan
berikutnya akan lebih rendah hasilnya dibandingkan bibit yang telah siap
tanam (telah cukup umur simpannya).
· Umur panen saat calon umbi bibit ditanam di lapang , untuk varietas Bauji maupun Super Philip sebaiknya 65 – 70 hari
· Ukuran bibit sedang , sekitar 5-6 gram . Penggunaan bibit yang berukuran terlalu besar akan meningkatkan biaya karena kebutuhan bibit semakin banyak
· Kebutuhan
bibit setiap hektar berkisar 800 – 1000 kg , tergantung dari besarnya
bibit. Dan biaya untuk pembelian bibit sekitar separo dari seluruh biaya
produksi.
· Umbi bibit berwarna merah cerah, dengan kulit mengkilat
· Umbi bibit bernas , sehat, padat , tidak keropos dan tidak lunak. Bila ada umbi bibit yang tidak mempunyai sifat demikian sebaiknya tidak digunakan sebagai bibit.
· Umbi bibit tidak terserang hama dan penyakit
· Sebelum
ditanam, umbi bibit dibersihkan dulu dari kulit-kulit yang kering dan
bila pertunasan belum kelihatan diujung umbi, maka sebaiknya ujung umbi
dipotong 1/3 agar mempercepat munculnya tunas
PENGOLAHAN TANAH
Bawang merah membutuhkan kondisi tanah yang lebih gembur dibanding tanaman sayuran lainnya . Oleh karenanya pengolahan tanah pada bawang merah dilakukan sampai beberapa kali hingga tanah benar-benar menjadi gembur. Bila
tanah yang digunakan merupakan tanah bekas ditanami jagung maupun tebu,
maka sisa tanaman tersebut harus dibersihkan hingga akar-akarnya supaya
tidak mengganggu pertumbuhan bawang merah. Dapat juga menggunakan
herbisida sebelum tanah di olah untuk mematikan rumput dan gulma lainnya
,seperti Goal maupun Roundup yang diberikan dua minggu sebelum tanah
diolah. Tanah diolah dengan cara dibajak lebih dari 4 kali hingga tanah
menjadi gembur dan tanah dikeringkan lebih dari seminggu .Kemudian tanah
dihaluskan lagi, setelah halus dapat dibuat bedengan dengan ukuran
Untuk musim kemarau : tinggi bedengan 25 cm
kedalaman parit 30-40 cm
lebar parit 50 cm.
Untuk musim hujan : tinggi bedengan 40 cm
kedalaman parit 50 cm
lebar parit 50 cm.
Pada
budidaya bawang merah sangat diperlukan pembentukan bedengan, dimana
adanya bedengan berfungsi agar tanaman bawang merah tidak selalu
tergenang air , dan air yang disiramkan segera habis terserap. Setelah
bedengan terbentuk, maka ditaburi pupuk kotoran ternak (pupuk kandang )
yang sudah benar-benar matang, ditandai dengan kotoran ternak sudah
seperti tanah yang gembur. Dosis untuk kotoran ayam sebanyak 5 ton/ha, sedangkan untuk kotoran sapi maupun kambing sekitar 10-15 ton/ha. Namun dosis ini bisa menjadi lebih banyak maupun lebih sedikit tergantung dari kesuburan tanah.
Pupuk kandang yang diberikan bersamaan dengan pembuatan bedengan merupakan perlakuan pemberian pupuk dasar . Selain
itu diberikan juga pupuk SP 36 dengan dosis 200 kg/ha swebagai pupuk
dasar , yang ditaburkan merata pada seluruh permukaan bedengan. Pupuk
kandang maupun SP 36 diberikan seminggu sebelum tanam. Setelah tanah
dipupuk maka tanah diairi agar pupuk dapat meresap ke dalam tanah.
PENANAMAN
Musim tanam optimal untuk bawang merah yaitu pada akhir musim hujan bulan
Maret – April dan musim kemarau Mei – Juni, tetapi di daerah pusat
produksi dapat dijumpai penanaman bawang merah tanpa mengenal musim, Untuk penanaman di luar musim (off season) perlu memperhatikan pengendalian hama dan penyakit lebih cermat.
Penanaman
dilakukan setelah tanah dan bibit sudah dipersiapkan, dimana sebelum
dilakukan penanaman tanah harus diari agar saat penanaman kondisi tanah
gembur Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa
bibit sebelum ditanam lebih baik dibersihkan dan diseleksi terlebih dulu
agar pertumbuhan tanaman menjadi baik. Bila tidak
diseleksi ditakutkan tercampurnya bibit yang jelek karena terserang
penyakit seperti Fusarium , maka akan mengakibatkan pertanaman hancur
karena Fusarium tersebut. Pembersihan bibit dilakukan sehari sebelum
ditanam serta ujung bibit sudah dipotong , dan esoknya dapat dilakukan
penanaman.
Untuk mempercepat proses penanaman, maka sebaiknya bedengan yang akan ditanami sudah digariti sesuai dengan jarak tanam yang digunakan , sehingga penanaman lebih mudah dilaksanakan. Jarak tanam yang dianjurkan yaitu 20 cm x 15 cm, namun bila umbi bibit besar maka dapat menggunakan jarak tanam 20 x 20 cm. Penanaman dilakukan dengan cara menanam 2/3 bagian umbi ke dalam tanah, sedangkan 1/3 bagiannya muncul di atas tanah.
PENGAIRAN
Bawang merah membutuhkan air dalam kondisi yang cukup sejak pertumbuhan awal hingga menjelang panen. Air yang diberikan pada tanaman walaupun dengan cara penggenangan/leb, namun harus segera meresap ke dalam tanah. Bila tidak demikian maka tanaman akan menjadi busuk dan sebagai sumber penyakit. Oleh karena itu pembuatan bedengan sangat diperlukan pada budidaya bawang merah . Hal
ini berhubunga sifat tanaman bawang merah yang membentuk umbi di dalam
tanah sehingga air yang terlalu banyak akan membuat umbi menjadi busuk .
Pada
musim kemarau , pengairan dapat diberikan setiap hari sejak tanaman
ditanam hingga tanaman membentuk umbi dan dikurangi setelah umbi
terbentuk. Namun walaupun musim kemarau , bila kondisi
tanah setelah diairi dan selang dua hari tanah masih basah, maka tanaman
tidak perlu diairi. Oleh karena itu dituntut kepekaan petani dalam mengamati kebutuhan air bagi tanamannya.
Untuk musim hujan pengairan yang dibutuhkan lebih sedikit yaitu selang dua hari sekali. Seperti di atas maka yang penting melihat kondisi kelembaban tanah, bila tanah masih lembab sebaiknya tidak perlu diairi. Yang
penting diamati yaitu setelah turun hujan, sebaiknya tanaman bawang
merah disirami dengan air bersih yang tujuannya untuk menghilangkan
inokulum dari penyakit yang kemungkinan menempel di daun.
Cara pengairan dapat dilakukan dengan penggenangan/leb maupun denan cara disiram/disirat. Kedua cara tersebut sebenarnya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Untuk
cara leb sebaiknya dilakukan pada kondisi tanah yang porous, sehingga
air yang tergenang cepat habis (tuntas), walaupun cara ini membutuhkan
waktu yang lebih pendek dibandingkan cara disiram. Sedangkan cara siram membutuhkan tenaga lebih banyak dan waktu lebih lama. Namun di daerah tertentu kedua cara tersebut juga dilakukan bersamaan .
PEMUPUKAN
Pemupukan pada bawang merah sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan produksi umbi yang lebih baik. Namun
pemupukan tidak perlu diberikan secara berlebihan karena pupuk malahan
akan terbuang dengan percuma. Seperti misalnya setelah tanaman membentuk
umbi, maka sebaiknya pemupukan dihentikan. Terkadang ada
petani yang tetap memberikan pupuk walaupun tanaman telah berumur diatas
4- hari, dan ini hanya membuang pupuk dengan sia-sia.
Dosis pupuk
Dosis
pupuk sebenarnya bukan merupakan patokan yang harus ditepati, karena
memupuk suatu tanaman akan berbeda pada setiap kondisi kesuburan tanah
yang berbeda. Namun dosis pupuk yang dapat dianjurkan
pada jenis tanah aluvial, seperti daerah Banyuanyar, Probolinggo maupun
Sidokare-Rejoso, Nganjuk seperti berikut. Pupuk dasar menggunakan 10
t/ha pupuk kandang dan SP 36 200 kg/ha yang diberikan 7 hari sebelum
tanam. Sedangkan pemupukan berikutnya menggunakan pupuk
urea 200 kg/ha, ZA 450 kg/ha dan KCl 200 kg/ha yang diberikan
separo-separo pada saat tanaman berumur 15 hari dan 30 hari setelah
tanam. Cara pemupukan dengan meletakkan pada larikan di sekitar tanaman,
kemudian ditutup dengan tanah.
Pemberian
pupuk pelengkap yang banyak beredar di pasar sebenarnya kurang
bermanfaat bagi peningkatan pertumbuhan dan produksi bawang merah. Namun pupuk pelengkap tersebut hanya sebagai tambahan nutrisi pelengkap karena pada umumnya mengandung unsur mikro. Untuk tanaman bawang merah, unsur mikro kurang diperlukan karena tanaman bawang merah berumur pendek yaitu sekitar 60-70 hari. Sedangkan
unsur mikro proses pelarutannya dan penyerapannya ke dalam tanaman lama
sehingga lebih sesuai bagi tanaman sayuran yang berumur panjang seperti
cabai atau tomat.
PENGENDALIAN GULMA
Gulma merupakan tumbuhan pengganggu yang menyebabkan tanaman utama terganggu pertumbuhannya. Untuk
tanaman bawang merah yang umbinya terbentuk di dalam tanah maka
kehadiran guilma sangat mengganggu karena pembersihan gulma harus
hati-hati dan ditakutkan mengenai dan mengganggu umbinya. Pembersihan
gulma dilakukan dengan cara menyiang dengan intensif sesuai dengan
kondisi gulma yang ada dengan cara mencabut gulma sampai terangkat
akar-akarnya serta menggunakan herbisida pra tumbuh dengan dosis sesuai
anjuran.
Cara membersihkan dan mencabut gulma harus hati-hati supaya tidak mengganggu tanaman bawang merah apalagi bila sudah berumbi. Pembersihan biasanya menggunakan alat seperti sosrok bambu kecil sehingga gulma dapat terangkat sampai ke akarnya. Bila tanaman sudah membentuk umbi yang agak besar maka sebaiknya pengendalian gulma dihentikan.
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Hama Ulat Bawang
Biologi dan Potensi Serangan
Ulat Spodoptera exigua dijumpai hampir pada setiap umur tanaman bawang merah. Ulat berukuran panjang sampai +
25 mm, berwarna hijau atau coklat dengan garis tengah berwarna kuning.
Serangga dewasa meletakkan telur pada daun bawang merah dan gulma yang
tumbuh disekitarnya. Siklus hidup hama ini sempurna yaitu telur, larva,
pupa dan imago yang berupa ngengat (Duriat, dkk., 1994). Pada saat awal
pertumbuhan bawang merah, biasanya dijumpai kelompok telur dan larva
stadia awal (instar 1 atau 2). Populasi ini akan terus meningkat mulai
tanaman berumur 2 minggu sampai tanaman di panen. Fye dan
Mc Ada (1972) dalam Smits (1987), lamanya daur hidup ulat sangat
tergantung pada temperatur. Temperatur yang makin tinggi akan
memperpendek lamanya stadia telur, larva, pupa dan ngengat. Periode
ngengat berkisar antara 10 – 20 hari. Setiap individu betina dapat
bertelur antara 500 – 600 butir. Setelah 2 – 6 hari telur menetas, larva
membuat lubang pada permukaan daun kemudian masuk ke bagian dalam daun. Larva mempunyai 5 – 6 stadia dengan kisaran umur 8,20 – 18,70 hari. Fase pupa berkisar 5,10 – 7,70 hari. Pada bulan Agustus – Oktober, kemampuan ngengat untuk bertelur lebih tinggi (Sutarya , 1996).
Ulat
menyerang tanaman dengan cara memakan daun bagian dalam, daun bawang
merah tinggal epidermisnya saja, sehingga pada daun terlihat
bercak-bercak putih transparan. Serangan hama ini kerusakan dapat menyebabkan
kehilangan hasil 56,94 – 57 % (Dibyantoro, 1993; Sastrosiswoyo, 1994),
bahkan pada daerah Kab. Probolinggo pada saat tanam bulan Agustus dapat
menyebabkan kerusakan 100 % sehingga menyebabkan puso ( Rosmahani dkk.,
2001)
Hama ini termasuk hama yang menyerang banyak spesies tanaman inang. Menurut Smits (1987), hama ini mempunyai lebih dari 200 spesies tanaman inang yang termasuk dalam lebih
dari 40 famili yang berbeda, namun tanaman inang yang utama adalah
keluarga bawang-bawangan, cabai merah dan jagung (Duriat dkk., 1994).
Kondisi Pengendalian Saat Ini
Pola
tanam yang umum dikerjakan oleh petani bawang terutama dilahan irigasi,
adalah padi – bawang merah – bawang merah – bawang merah atau padi –
bawang merah – cabai merah – bawang merah. Padi ditanam
pada musim penghujan. Waktu yang dipilih untuk merotasi tanah dengan
tanaman padi tidak serentak. Sejak akhir musim penghujan sampai dengan
pertengahan musim penghujan berikutnya petani menanam bawang merah pada
lahannya atau kadang-kadang di sela dengan tanaman jagung. Pola tanam
demikian merupakan pola tanam yang tidak memutus siklus hidup hama S. exigua. Keadaan ini menyebabkan tersedianya semua stadia pertumbuhan bawang merah serta tersedianya inokulum hama ulat S. exigua. dalam areal yang luas di lapangan.
Penggunaan insektisida untuk mengendalikan hama ulat S. exigua
masih menjadi andalan utama para petani, sehingga insektisida menjadi
jaminan utama untuk keberhasilan usahatani. Menurut Stallen dkk.(1990)
di sentra produksi bawang merah, petani umumya mengendalikan ulat dengan
menggunakan insektisida yang beredar di pasaran dengan frekuensi dan
dosis yang cukup tinggi. Volume larutan insektisida yang digunakan pada
setiap aplikasi berkisar 560 – 1.588 liter per ha. Petani melakukan
penyemprotan secara berkala 3 – 4 hari sekali, sehingga dalam satu musim
tanam melakukan penyemprotan 15 – 20 kali (Dibyantoro, 1995), bahkan
pada musim tanam bulan Agustus interval penyemprotan meningkat menjadi 1
– 2 hari sekali, sehingga dalam satu musim tanam dapat mencapai 50 kali
aplikasi insektisisda (Rosmahani dkk., 1998). Jika udara panas terus
menerus, maka pengendalian ulat dengan cara mekanis (
mengambil dan membuang kelompok telur maupun ulat) dan dengan cara
aplikasi insektisida (interval 1 –2 hari sekali) tetap tidak dapat
mengendalikan populasi ulat S. exigua yang meningkat cepat dalam waktu satu minggu dapat menyebabkan tanaman bawang merah puso (Rosmahani dkk., 2001)
Alternatif Pengendalian Secara Fisik
Sampai
saat ini telah banyak hasil penelitian yang menyajikan komponen
–komponen pengendalian yang dapat dirakit dalam satu pengendalian secara
PHT. diantaranya adalah penerapan budidaya tanaman sehat, pergiliran
tanaman, penanaman serentak, pengendalian secara mekanis, penggunaan
seks feromon, penggunaan alat semprot yang tepat, pengendalian secara
hayati. Namun jika lingkungan sudah kurang sesuai bagi pertanaman bawang
merah, terutama pada saat tanam bulan Agustus, yang pada saat tersebut
temperatur udara sangat panas ( diatas 29 °
C), tidak ada curah hujan, sumber infeksi hama sudah tersedia di
sekitar pertanaman karena sudah ada pertanaman sejak awal musim kemarau,
populasi hama dapat meningkat dengan sangat cepat dalam waktu 1-2 hari
diperlukan alternatif komponen pengendalian yang lain. Komponen
pengendalian yang harus disertakan adalah pengendalian fisik dengan
jalan memberikan kerodong kasa (Gambar 1.) pada seluruh tanaman dengan
tinggi kerodong 175 cm, yang dipasang sejak sebelum bibit bawang merah
ditanam sampai saat panen. Pada keadaan ini petani masih dapat masuk
kedalam lerodong kasa untuk melakukan aktivitas pemeliharaan tanamannya
a.l.: tanam, aplikasi herbisida, penyiangan, penyiraman, monitoring
serangan hama, pengendalian hama ulat secara mekanis dan panen.
Kasa dibuat dari bahan plastik dengan ukuran lubang
17 mesh. Pengendalian dengan cara ini sudah mulai dilakukan oleh petani
di Kab. Probolinggo sejak 6 – 8 tahun terakhir, dikombinasikan
monitoring serangan ulat , dua kali seminggu, pengendalian
mekanis yaitu mengambil dan membuang kelompok telur dan ulat yang ada
pada daun dan permukaan atas kerodong kasa, aplikasi insektisida 1 – 2
kali per musim tanam jika serangan hama thrips meningkat. Penggunaan
kerodong kasa ini dapat mengurangi bahkan meniadakan penggunaan
insektisida kimia, sehingga efek negatif penggunaan insektisida juga
dapat ditiadakan. Kerodong kasa dapat diterapkan pada luasan pertanaman
yang sempit maupun yang luas namun pada umumnya ukuran kerodong kasa
yang diterapkan oleh petani per unit antara 500 m2 sampai 2000 m 2.
Keberhasilan pengendalian hama ulat dengan menggunakan kerodong kasa
ini dapat mencapai 100 % dan bawang merah dapat dipanen dengan hasil
optimal. Biaya penggunaan kerodong kasa untuk pertanaman bawang merah
dengan luas lahan 1300 m 2 adalah sebesar Rp. 1.652.500,-
(Analisa biaya tertera pada Lampiran 1.). Biaya penggunaan kerodong kasa
ini setara dengan biaya aplikasi penggunaan insektisida. Namun kerodong
kasa ini dapat digunakan untuk 6 – 8 kali musim tanam bila perawatan
kasa dilakukan dengan baik (Rosmahani, dkk., 2001).
Keberhasilan kerodong kasa pada usahatani bawang merah ini adalah sebagai barier fisik bagi masuknya hama ulat S. exigua pada pertanaman bawang merah. Ukuran lubang bahan kerodong kasa adalah sebesar 17 mesh, sehingga ngengat yang datang tidak dapat masuk kedalam pertanaman bawang merah.
Jika ngengat hinggap pada permukaan bagian atas kerodong kasa dan
bertelur maka masih ada kemungkinan telur untuk jatuh pada daun bawang
merah di dalam kerodong kasa. Hal ini dapat ditanggulangi dengan
pengendalian mekanis yaitu dengan mengambil dan membuang kelompok telur
yang ada pada tanaman bawang merah. Secara tidak langsung secara
ekologis kerodong kasa dapat membantu memperbaiki lingkungan tumbuh bawang merah pada saat musim kemarau (saat tanam bulan Agustus). Pada saat tanam tersebut udara panas dan kering , dengan temperatur udara > 30 °C. Pada kondisi udara yang panas dan kering daun bawang merah dapat mengalami respirasi yang tinggi
(Sumami dan Rosliani, 1995), keadaan ini menyebabkan tanaman menjadi
lemas, dan lemah. Penggunaan kerodong kasa secara fisik juga dapat
mengurangi intensitas sinar matahari dan respirasi
tanaman sehingga pertumbuhan tanaman bawang merah dapat berlangsung
dengan normal sehingga dapat menghasilkan umbi dengan baik. Selain itu
penggunaan kerodong kasa menyebabkan pengurangan penggunaan insektisida dalam jumlah besar sehingga juga dapat menekan efek negatif insektisida baik di lapangan maupun di tingkat kosumen.
Potensi Pengembangan Teknologi
Potensi pengembangan teknologi nampaknya cukup bagus. Luas pertanaman bawang merah yang menggunakan kerodongkasa pada tahun 2001 di Kab. Probolinggo mencapai 210 ha (Rosmahani, dkk., 2001). Pengembangan
teknologi dapat dicapai yaitu dengan cara sosialisasi penerapan
kerodong kasa secara bertahap yang dimulai dari petani disekitar petani
yang telah menggunakan, meluas kepada petani disekitarnya. Kegiatan ini
membutuhkan waktu yang tidak singkat mengingat petani sudah sangat
terbiasa selama bertahun-tahun mengendalikan hama dan penyakit bawang
merah secara konvensional dengan pestisida kimia sintetik. Perubahan
praktek pengendalian organisme pengganggu tumbuhan secara konvensional
ke sistem PHT perlu dilakukan secara bertahap melalui program pelatihan
dan penyuluhan yang intensif (Untung, 1993).
Selain
itu beberapa hal perlu dicermati agar pengembangan penerapan kerodong
kasa sebagai pelengkap komponen PHT dapat berlangsung yaitu:
Hal-hal yang dapat memacu keberhasilan penerapan kerodong kasa pada bawang merah a.l:
· Semakin banyak petani yang mengikuti program SLPHT
· Semakin mahalnya harga pestisida kimia sintetik
· Semakin seringnya petani mengalami kegagalan dalam penggunaan pestisida kimia saja
· Kesadaran masyarakat konsumen maupun perodusen bawang merah akan bahaya residu pestisida kimia sintetik
Hal-hal yang masih menjadi penghambat keberhasilan penerapan kerodong kasa sebagai komponen pelengkap PHT pada bawang merah a.l:
· Semakin
sempitnya kesempatan memiliki lahan garapan sendiri. Semakin banyak
petani yang menggadaikan lahan garapannya untuk selama lebih dari dua
tahun, karena keterbatasan penghasilan, keterbatasan modal usaha. Petani
berubah menjadi penggadu untuk lahannya sendiri sebab sarana produksi
disediakan oleh pemilik modal, padahal pemilik modal tidak berada
ditempat dan tidak mau tahu dengan keadaan ekosistem dilahan garapan,
sehingga untuk keperluan usahatani bawang merah disediakan pestisida
kimia dalam jumlah banyak. Petani sulit menentukan pilihan pengendalian
lain selain penggunaan pestisida kimia.
· Pemilik toko pertanian sering meminjamkan modal berupa pupuk dan pestisida yang dapat dibayar jika saat panen tiba.
· Kurangnya
kelompok tani yang dapat menghimpun petani untuk memecahkan persoalan
usahatani, termasuk pengusahaan pinjaman modal untuk penerapan kerodong
kasa pada tanaman bawang merah dalam areal luas.
Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum)
· Gejala serangan, tanaman kurus kekuningan dan busuk bagian pangkal
· Tanaman mudah tercabut karena pertumbuhan akar terganggu dan membusuk
· Tanaman yang terserang segera dicabut dan dimusnahkan
· Pencegahan
di daerah endemis Fusarium, perlu perlindungan bibit dengan menaburkan
fungisisda dosis 100 gram/100 kg bibit yang diberikan dua tau tiga hari
sebelum tanam
· Di
daerah endemis sebelum tanam, tanah yang sudah diolah diberi fungisida
seperti Fapam sebanyak 2 cc/l, untuk mematikan patogen dan Fusarium
Penyakit Becak Ungu /Trotol (Alternaria porri)
· Gejala awal serangan pada daun menimbulkan bercak berukuran kecil, berwarna putih dengan pusat berwarna ungu
· Ujung daun mengering bahkan daun dapat patah
· Bila
tanaman terkena hujan atau embun, segera disiram air bersih untuk
mengurangi penularan spora penyakit yang menempel pada daun
· Pengendalian
dengan menggunakan fungisida selektif dengan dosis sesuai anjuran, bila
intensitas serangan mencapai 5 % tanaman terserang perlu
Yang perlu diperhatikan dalam pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida yaitu :
· Memilih pestisida yang tepat , sesuai target hama atau target penyakit
· Jangan menggunakan pestisida lebih dari 1 macam pada satu waktu penyemprotan
· Gunakan beberapa macam pestisida secara bergantian , agar hama dan penyakit tidak kebal terhadap satu macam pestisida
· Jangan menggunakan dosis yang berlebihan karena tidak efektif dan akan menambah biaya produksi
· Waktu penyemprotan agar diperhatikan , sebaiknya sebelum matahari terbit atau sore hari
· Cara penyemprotan tepat mengenai sasaran serta searah dengan angin
PENINGKATAN MUTU DAN HASIL PANEN
· Umur panen tergantung varietas, namun dapat menggunakan dasar : untuk konsumsi : 50-60 hari setelah tanam (di dataran rendah)
70-75 hari setelah tanam (di dataran tinggi _
kerebahan daun 70-80 %
untuk umbi bibit : 65-70 hari setelah tanam (di dataran rendah)
80-90 hari setelah tanam (di dataran tinggi _
kerebahan daun 90 %
· Waktu panen udara cerah dan tidaj basah
· Keseluruhan daun tampak menguning
O Sebagian umbi nampak tersembul keluar
· Cara panen dengan mencabut keseluruhan tanaman secara hati-hati
· Hasil panen diikat 1-1,5 kg setiap ikatan
· Pelayuan atau curing sebelumbawang merah dikeringkan dengan menjemur 2-3 hari di bawah terik sinar matahari
· Pengeringan dilakukan 7-14 hari, hingga mencapai susut bobot 25-40 % atau sampai kering askip
· Untuk
mengetahui kesiapan umbi kering askip yaitu menyimpan sedikit contoh
dalam kantong plastik putih selama 24 jam, bila sudah tidak ada titik
air dalam kantong, berarti sudah mencapai kering askip
· Penyimpanan bawang merah dapat dilakukan di atas perapian , menggunakan para-para bambu dan di bawahnya diberi pengasapan
· Penyimpanan
di ruang berventilasi sangat baik karena mempunyai sirkulasi udara yang
baik dan dapat mencegah serangan hama dan penyakit seperti rumah sere
dan gudang berpembangkit vorteks (mengubah aliran udara jenuh dalam
gudang, dengan menghembus ke atas keluar gudang dan digantikan udara
luar yang lebih bersih oleh adanya vorteks).
· Sortasi dilakukan untuk memisahkan umbi yang sehat , utuh dan menarik dengan umbi yang telah rusak. Sortasi dapat meningkatkan nilai jual dan mencegah penularan penyakit
· Grading dilakukan untuk menentukan tingkat mutu produk, sehingga harga dapat ditentukan sesuai mutunya. Grading dilakukan dalam beberapa kelas yaitu kelas I diameter > 2,5 cm, kelas II =1,5-2,5 cm , kelas III < 1,5 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Baswarsiati, L. Rosmahani dan F. Kasijadi. 1998.Rakitan Teknologi Usahatani Bawang Merah dalam Monograf Rakitan Teknologi. BPTP Karangploso.
Baswarsiati, L. Rosmahani dan E. Korlina. 2000. Review pengkajian sistem usahatani bawang merah di lahan sawah. Eds. Soetjipto P.H. dkk.
Prosid. Sem. Hasil Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung
Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis. Badan Litbang Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. 392 – 402.
__________,
L. Rosmahani, E. Korlina, E.P. Kusumainderawati, D. Rachmawati dan S.Z.
Saadah. 1997. Adaptasi beberapa varietas bawang merah di luar musim.Eds. M. Cholil M. dkk. Prosid. Sem. Hasil Penelitian dan Pengkajian Komoditas Unggulan. Deptan. Balitbangtan. BPTP Karangploso. 210-225.
__________,
L. Rosmahani, B. Nusantoro, R.D. Wijadi, M. Mahuri, Koespiatin, S.
Fatimah, Riswandi, S.Z. Sa’adah. 1998. Pengkajian paket tehnik budidaya
dalam usahatani bawangmerah di luar musim. Eds. Supriyanto A . dkk.
Prosid. Sem. Hasil Penelitian dan Pengkajian Sisitem Usahatani Jawa
Timur. Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP Karangploso. 156-168.
Dibyantoro,
A. L. H. 1993. Daya guna insektisida Reldan 24 EC terhadap Spodoptera
exigua Hubn. Pada tanaman bawang merah. Buletin Penelitian Hortikultura.
25 (2): 54 – 60.
_________,
A. L. H. 1995. Pestisida-toksikologi dan residu pestisida pada produk
sayuran. Makalah disajikan pada Pelatiha AP3I-IKABRO, 24 – 29 Juli. 33
hal.
Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Drh Prop. Drh Tk I Jawa Timur. 1997. Penentuan
komoditas tanaman pangan dan hortikultura unggulan Jawa TimurNdan
strategi pengembangannya. Lokakarya Wawasan dan Strategi
Pembangunan Pertanian di Jawa Timur Menjelang Abad XXI, Surabaya, 9 – 10
Desember 1997. BPTP Karangploso. 26 hal.
Duriat,
A.S., T.A. Soetiarso, L. Prabaningrum, R. Sutarya. 1994. Penerapan
Pengenmdalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Budidaya Bawang Merah.
Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Puslitbanghort. Badan Litbang
Pertanian.
Grubben, G.J.H. 1990. Timing of vegetable production in Indonesia. Bul. Penel. Hort. XVIII (1): 43 – 53.
Hadisoeganda, W.W., E. Wuryaningsih dan T.K. Moekasan. 1995. Penyakit dan hama bawang merah dan cara pengendaliannya. Dalam. Teknologi Produksi bawang merah. Puslitbanghort. Balitbangtan.Jakarta Hal 57 – 73.
Koster,W.G. 1990.Explorating survey on shallot in rice based cropping system in Brebes. Bul. Penel. Hort. 18 (1):19-30
Rosmahani,
L., E. Korlina, Baswarsiati dan F. Kasijadi. 1998. Pengkajian tehnik
pengendalian terpadu hama dan penyakit penting bawang merah tanam di
luar musim. Eds. Supriyanto A.dkk. Prosid.
Sem.Hasil Penelitian dan Pengkajian Sisitem Usahatani Jawa Timur.
Balitbangtan. Puslit Sosek Petanian. BPTP Karangploso. 116-131
____________,
Soeyamto, E. Korlina, Baswarsiati. 2001. Identifikasi dan saran
pemecahan permasalahan hama ulat bawangmerah di Kab. Probolinggo. Lap.
Hasil survey BPTP Jatim. Belum dipublikasi. 6 hal.
Sastrosiswoyo,
S. 1996. Sistem Pengendalian Hama Terpadu dalam Menunjang Agribisnis
Sayuran. Prosiding Seminar Nasional Komoditas Sayuran. Eds. Duriat, A.S dkk. Balai Penelitian Tan. Sayuran Bekerjasama dengan PFI Komda Bandung dan CIBA Plant Protection. 15 hal.
Smits, P. H. 1987. Nuclear polyhedrosis Virus as Biological Cointrol Agent of Spodoptera exigua. Lanbouw Universiteit te Wageningen. 127 hal.
Stallen,
M.P.K., M.T. Koestoni and A.T.Arifin. 1990. Evaluation of performance
of knapsack sprayers used for cultivation of hot pepper and shallots in
farmers field. In Improving spraying Techniques for Lowland Vegetables. Internal Communication LEHRI/ATA-395 (22): 9-13.
Sumami, N dan R. Rosliani. 1995. Ekologi bawang merah. Dalam. Teknologi Produksi Bawang Merah. Eds. Soenaryono, H. dkk. Puslitbang Hortikultura, Badan Litbang Pertanian. Jakarta . 12 – 17.
Sutarya, R. 1996. Hama ulat Spodoptera exigua Hubn. pada bawang merah dan strategi pengendaliannya. Jurnal Litbang Pertanian XV (2). 1996: 41 – 46
Suwandi,
1994. Hasil penelitian bawang merah dalam Peliyta V. Evaluasi Hasil
Penelitian Hortikultura dalam Pelita V. Puslitbang Hortikultura. Badan
Litbang Pertanian. Segunung. 27-29 Juni 1994.
Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 273 hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar